Kamis, 18 November 2010

Fungsi Terbilang

Mengubah Angka Menjadi Kata-kata pada Excel 2003 dan 2007


Secara default excel (baik generasi excel 2000, 2003 maupun 2007) tidak memiliki perintah terbilang. Perintah terbilang yang dimaksud disini adalah perintah atau formula untuk mengubah dari angka menjadi kata. Misalkan kita ingin mengubah angka 1,000 menjadi kata seribu, atau seribu rupiah. Kalau hanya sesekali mungkin tidak masalah kita ketik secara manual, bagaimana kalau harus berulang kali mengetikkannya, tentu merepotkan.
Untuk mempermudahnya, anda dapat menggunakan add-in yang ditambahkan sendiri. Download dulu add-in disini. Kemudian ekstrak dan install add-in tersebut. Sebelum install add-in, matikan dulu security macronya, supaya add-in ini bisa jalan.
Untuk Microsoft Office Excel 2000/2003 :
  1. Buka Excel anda.
  2. Masuk ke Tools >> Macro >> Security
  3. Pilih Low kemudian OK
  4. Masuk ke Tools >> Add-ins >> Browse
  5. Arahkan ke file terbilang.xla yang sudah anda download sebelumnya
  6. Jangan lupa aktifkan (centang) terbilang pada daftar add-in
  7. Klik OK dan siap digunakan

Untuk Microsoft Office Excel 2007 :
  1. Buka Excel Anda
  2. Klik Office Button (tombol yang bulat di pojok kiri atas ) pilih Excel Options
  3. Pilih Trust Centre >> Trust Centre Settings >> Macro Settings
  4. Pada Macro settings pilih Enable All Macro  kemudian klik OK
  5. Masuk ke Menu Add-Ins (Di atas macro seting)
  6. Klik Go
  7. Browse dan arahkan ke file terbilang.xla yang sudah anda download sebelumnya.
  8. Jangan lupa aktifkan (centang) terbilang pada daftar add-in
  9. Klik OK dan siap digunakan.

Rabu, 03 November 2010

Fiqh Siyasah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
                        Hubungan agama dan politik menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler. 
                        Munculnya masalah tersebut dipandang wajar disebabkan karena risalah islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
                        Permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah Rasulullah Wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau.
                        Maka dari itu masalah ini akan diuraikan dan dikaji dalam makalah ini sehingga dapat menambah wawasan para pembaca tentang keislaman.
I.2 Permasalahan
1. Apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah ( siyasah syar’iyyah ) ?
2. Apa hubungannya dengan ilmu fiqh ?
3. Apa manfaat mempelajari fiqh siyasah ?
4. Apa yang dimaksud dengan istilah – istilah berikut :
a. Khilafah, Khalifah
b. Imamah, Imam
c. Imarah, Amir
d. Ahlul halli Wa Al – Aqdi
e. Bai’at dan Majlis Syura
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian fiqh siyasah ( siyasah syar’iyyah )
2. Dapat mengetahui hubungan antara ilmu fiqh dan fiqh siyasah
3. Dapat mengetahui manfaat mempelajari fiqh siyasah dan memahami istilah – istilah    yang berhubungan dengan pemerintahan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Fiqh Siyasah
Fiqh Siyasah terdiri dari  dua kata berbahasa Arab fikih atau fiqh dan siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang pas apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah, maka perlu dijelaskan pengertian masing – masing kata dari segi bahasa dan istilah.
Secara etimologis ( bahasa ) fiqh adalah  keterangan-keterangan tentang pengertian atau paham dari maksud ucapan Si pembicara, atau pemahaman yang mendalam terhadap maksud - maksud perkataan dan perbuatan. Secara terminologis          ( istilah ), menurut ulama – ulama  syara, fiqh adalah pengetahuan tentang hukum – hukum yang sesuai dengan syara mengenai amal perbuatan yang diperoleh dari dalil yang tafshil (terinci, yakni dalil-dalil atau hukum-hukum khusus yang diambil dari dasar – dasarnya dan sunah). Jadi fiqh adalah pengetahuan mengenai hukum agama islam yang bersumber dari al quran dan sunah yang disusun oleh mujtahid dengan jalan penalaran dan ijtihad.
Kata siyasat bersal dari kata sasa. Kata ini dalam kamus Al Munjid  dan Lisan Al – Arab berarti mengatur, mengurus dan memerintah. Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memipin, membuat kebijaksanan, pemerintahan dan politik. Secara terminologis dalam Lisan Al Arab siyasat adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa  kepada kemaslahatan.
Dari uraian tentang pengertian istilah fiqh dan siyasat dari segi etimologis dan terminologis dapat disimpulkan bahwa pengertian Fiqh Siyasah atau Fiqh Syar’iyah ialah “ilmu yang mempelajari hal – ihwal seluk – beluk pengatur urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum,  pengaturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar – dasar ajaran syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.”
2.2 Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah
            Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah dalam system hukum islam adalah hukum – hukum islam yang digalih dari sumber yang sama dan ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemudian hubungan keduanya dari sisi lain, Fiqh Siyasah dipandang sebagai bagian dari fiqh atau dalam kategori fiqh. Bedanya terletak pada pembuatanya. Fiqh ditetapkan oleh mujtahid. Sedangkan Siyasah Syar’iyah ditetapkan oleh pemegang kekuasan.
           

2.3 Manfaat Fiqh Siyasah
            Manfaat siyasah adalah:
1) mengatur peraturan dan perundang-undangan Negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemashalatan umat,
2) pengorganisasian dan pengaturan untuk mewujudkan kemaslahatan, dan
3) mengatur hubungan antara pengusaha dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan Negara.
 2.4 Konsep-Konsep yang Berhubungan dengan Pemerintahan Islam :
2.4.1. a. KHILAFAH
Secara umum seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya, menurut istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah dan sebutan seperti khilafah Abu bakar, Umar bin Khattab dan seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang di amanahkan.
      b. KHALIFAH
                  Secara istilah pemimpin yang mengganti nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undang yang mempersamakan seluruh umat islam di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Jadi, khalifah tidak bisa diartikan wakil melainkan pengganti / penguasa.
2.4.2. a. IMAMAH
               Secara umum keimanan,kepemimpinan, dan pemerintahan. Menurut istilah seseorang atau kelompok orang yang melaksanakn wewenag dalam hal mengurus kepentingan masyarakat atau istilah lain kepemimpinan menyeliruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti  fungsi Rasulullah.
                Pendefinisian khilafah dan imamah lebih panjang oleh kepemimpinan Khulafaur Rosyidin. Hukum islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik Negara. Negara didasarkan pada prinsijp yang mengakui “kedaulatan tuhan”. Dan Nabi Muhammad SAW sebagai “wakil tuhan”. Dan menerapkan musyawarah sertra kedaulatan yang sesungguhnya berda pada Tuhan.
               b. IMAM
            Sebutan gelar yang paralel dengan khalifah dalam sejarah pemerintahan islam, adalah imam. Kata imam berarti ”pemimpin, atau contoh yang harus diikuti atau mendahului, memimpin. Kedudukan imam sama dengan khalifah, yaitu pengganti rasul sebagai pemelihara agama dan penanggung jawab urusan umat. Secara istilah imam adalah ” seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agam dan urusan dunia sekaligus.
        2.4.3. a. IMARAH
            Imarah berasal dari kata “amr” yang artinya perintah persoalan, urusan atau dapat pula dipahami sebagai kekuasaan. Sementara itu imarat sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir. Istilah khilafah dan imamah lebih populer pemakaiannya dalam berbagai literatur ulama fiqh daripada  istilah imarah.
            b. AMIR
            Menurut istilah syara, amir adalah pejabat pemerintahan yang diangkat untuk mengatur dan memelihara salah satu urusan kaum muslimin. Ketika Rasulullah SAW masih berada di tengah umat islam’ istilah amir di gunakan untuk nama beberapa jabatan yang mengurusi suatu urusan.
            Umar bin khattab pernah berkata: “ Tidak ada arti islam tanpa jamah, tidak ada arti jamaah tanpa amir (pemimpin).
            Dalam arti lain amir adalah orang yang memerintah orang yang menangani persoalan, orang yang mengurus atau penguasa.
            Konsep amir justru dapat di pahami lebih umum dalam seluruh pola kepemimpinan. Termasuk penguasa politik pemerintahan, pemimmpin organisasi dan perkumpulan dan sebagainya. Dalam proses pemilihannya pun, lebih banyak melibatkan unsur sosial kemasyarakatan, ketimbang doktrin. Dengan kata lain, legalisasi seorang amir ditentukan oleh kepercayaan orang banyak terhadap seseorang.
 2.4.1. Ahlul Halli Wal Aqdi
Dapat diartikan bahwa orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat atau sekelompok orang yang memilih imam atau kepala Negara atau orang-orang yang mempunyai wewenang.Biasanya istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang berhak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.
Paradigma pemikiran ulama fiqih merumuskan istilah Ahlul Halli Wal aqdi didasarkan pada system pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yanag mewakili dua golongan yaitu Anshor dan Muhajirin.
Bertolak dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa Ahlul Halli wal Aqdi merupakan suatu lembaga pilihan. Kecenderungan umat islam generasi pertama dalam sejarah secara tidak langsung atau melalui perwakilan.
Dengan demikian Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari berbagai kelompok sasial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda namun hal ini bukan hal prinsip, melainkan persoalan tekhnis dan temporer yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan masyarakat.
2.4.2. a BAI’AT
            Istilah bai’at berasal dari kata ba’a yamg berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian, janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Secar bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli dan untuk berjanji setia dan taat
Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang di milikinya.
Dengan demikian beberapa konsep yang berhubungan dengan pemerintahan islam diatas, dapatlah ditarik beberapa pengertian, Pertama konsep khilafah lebih bersifat umum, artinya sebagai sebuah konsep, imamah dan imarah tercakup di dalamnya. Kedua masing-masing konsep dapat dipahami dengan pendekayan karakteristik dan berbede-beda khilafah lebih bersifat teologis dan sosiologis sekaligus. Imamah  murni bersifat teologis, sementara itu imarah murni bersifat sosiologis .
 b. MAJLIS SYURO’
Permusyawaratan, hal yang bermusyawarah atau konsultasi. Majlis Syura berarti majelis permusyawaratan atau badan legislatif. Istilah syura berasal dari kata kerja syaawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.
Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syaawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Pengertian seperti ini terdapat pada tiga tempat di dalam Alquran. Pertama dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya: ‘’Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.’ Menyapih anak sebelum mencapai usia dua tahun boleh apabila didasarkan pada kerelaan dan permusyawaratan antara suami - istri.
Kedua dalam surat Asy-Sura ayat 38: ‘Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan TuhanNya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah (syura) antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.’’ Ayat ini mengandung pujian atas orang-orang yang menerima seruan Allah SWT yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mendirikan shalat dengan baik dan benar, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian dari rizki yang mereka peroleh. Bermusyawarah merupakan sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu bernilai ibadah.
Ketiga, dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 yang artinya, ‘’Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kami bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal kepadaNya. Ayat ini merupakan perintah untuk melaksanakan musyawarah dengan para sahabatnya dan perintah yang mensyariatkan musyawarah. Bermusyawarah merupakan ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat terpuji orang yang melaksanakannya.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan, sesungguhnya Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan kewajiban musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi SAW, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.

DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli,  MA. Prof. H. 2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu Syari’ah. Bandung: Prenada Media.
Pulungan, MA. Dr. J. Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Minggu, 24 Oktober 2010

Tips Trik IT

Cara instal Windows 7 Dan Windows XP Dari Flashdisk

Pada umumnya untuk menginstal windows 7 dan windows xp kita menggunakan cd/dvd sebagai bootingnya. Namun hal itu akan jadi masalah besar, jika DVD RW komputer atau laptop kita rusak. Jika DVD RW rusak tentu kita tidak akan bisa melakukan booting windows dari cd/dvd. Solusinya.? Gunakan DVD RW external, untuk menginstal windows 7 atau windows. Itu cara pertama, cara kedua adalah gunakan flashdisk sebagai booting windows 7 atau windows xp, dan ini cara termudah. Kita akan menggunakan cara yang kedua.

Tahap persiapan menginstal windows 7 atau windows XP dari flashdisk.

  • Aplikasi WinToFlash, Download
  • Flashdisk 1 GB ( Untuk booting windows XP )
  • Flashdisk 4 GB ( Untuk booting windows 7 )

Cara Membuat booting Windows 7 Dan Windows XP Dengan Flashdisk

  1. Silahkan download WinToFlash, dengan mengklik link download diatas. Extrak file kemudian buka WinToFlash.exe -> Accept
  2. Muncul tampilan berikut, klik tanda centang -> klik Next
  1. Masukkan CD booting windows XP atau booting Windows 7.
    Anda bisa meminjam komputer teman untuk membuat booting windows xp dan windows 7 ini
  2. Colokkan  Flashdisk 1 GB ( Jika membuat booting windows XP ), Flashdisk 4 GB ( Jika membuat booting windows 7 )
  3. Kembali ke WinToFlash. Pada field Windows file path tentukan dimana posisi cd booting windows Xp atau Windows 7, dan pada field USB drive tentukan dimana posisi flashdisk rekan-rekan, klik Next . Lihat gambar.
Note : ” Pastikan isi flashdisk telah rekan-rekan pindahkan, karena flashdisk akan terformat “
  1. Muncul Windows License Agreement,  centang I Accept …, klik continue.
  1. Proses penyalinan booting dari CD/DVD ke flashdisk akan berjalan, tunggu sampai selesai.
  1. Beres, Flashdisk sudah siap digunakan sebagai booting.

Cara Menginstal Windows XP Dengan Flashdisk

  1. Colokkan flashdisk yang telah berisi booting windows XP, kemudian hidupkan komputer.
  2. Masuk ke BIOS dengan menekan F2 saat komputer baru dinyalakan, ubah booting utama dengan flashdisk ( USB-HDD ) , jika flashdisk telah di colokkan, disana akan terlihat nama flashdisk kita, klik F10 untuk menyimpan pengaturan.
  3. Akan muncul dua pilihan saat komputer atau laptop melakukan booting lewat flashdisk. Pertama, pilih 1. TEXT SETUP .., tekan Enter, kemudian lakukan penginstalan seperti biasa.
  4. Setelah komputer restart, Pilih 2. Gui Mode.., tekan enter.
    Ingat..!! Gui Mode
  5. Jika komputer restart lagi, pilih Gui Mode..
  6. Lanjutkan penginstalan seperti biasa.
  7. Silahkan cabut flashdisk, setelah desktop komputer atau laptop terbuka.

Cara Menginstal Windows 7 Dengan Flashdisk

  1. Colokkan Flash yang  telah terisi windows 7.
  2. Masuk ke BIOS dengan menekan F2 saat komputer baru dinyalakan. ubah booting utama dengan USB – HDD.
  3. Instal window 7 seperti menginstal dengan booting  DVD, baca cara menginstal windows 7.
  4. Hanya saja, saat komputer restart, cabut flashdisk agar komputer tidak melakukan instal ulang.
Saya sudah mencobanya, jika rekan-rekan penasaran silahkan mencoba. Keuntungan menginstal windows 7 atau windows XP dari flashdisk adalah, tingkat kegagalan penginstalan lebih kecil, bahkan cenderung lebih cepat dari pada menginstal dengan CD/DVD.
Owy, silahkan format flashdisk jika berniat untuk menyimpan data lagi.

Minggu, 17 Oktober 2010

New Posting


Ahlus Sunnah wal Jama‘ah

             Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “al-Kawâkib al-Lammâ‘ah fî Tahqîq al-Musammâ bi Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagai: kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh), dan akhlaq batin (tasawwuf).
Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar”, Imam Syafii dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”. Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ
Dari Abi Hurayrah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?”  Rasulullah saw. Menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah).
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.
Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial di antara tiga aspek di atas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari.
Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321 H) di Mesir. Akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib ra., tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalam fiqh adalah mazhab empat, dan dalam tasawuf adalah al-Ghazali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah swt., dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham.
Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil di antara kelompok dan mazhab dalam Islam. Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam; Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah swt., kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi, mereka berbeda dalam beberapa hal di luar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda di dalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah. Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri.
Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal, sebagai anugerah Allah swt., memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah swt. dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih ‘menengah’ dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya.
Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdîm al-nash ‘alâ al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash. Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash. Karena itu, penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.